02 Februari 2009

Sebelum Mendukung Perlawanan Palestina

Memahami permasalahan Palestina yang tak kunjung usai, sebagian umat ini merasa pesimis. Bahkan dianggap sebagai hal yang lumrah, karena terbiasa menyaksikan penderitaan rakyat Palestina. Seakan problematika akut di bumi para nabi itu hampa solusi.
Aktor yang terlibat langsung dalam pembantaian manusia di sana juga tidak berubah, agresor Zionis Israel. Dipahami sebagai pentas drama sejarah yang membosankan. Tidak ada yang istimewa dari tragedi kemanusiaan di tanah Isra' Mi'raj Rasulullah Saw. Sikap pesimis ini kemudian berlanjut menjadi apatis, atau memang bingung menentukan sikap. Lebih memprihatinkan lagi jika mengambil sikap yang tidak selayaknya dipilih oleh orang berperikemanusiaan.
Tidak dipungkiri, bahwa tragedi pembantian manusia di Gaza oleh Zionis Israel selama 23 hari kemarin, merupakan aksi brutal Israel yang ke sekian kali. Bukan kali pertama. Selain perang fisik, perang opini di media massa juga tidak diabaikan Zionis Israel dan para kroninya. Penggiringan opini ke arah yang diinginkannya, membantu mereka dalam melancarkan agresinya. Memecah konsentrasi atau mengacaukan pemahaman umat Islam agar berselisih satu sama lain. Indikator keberhasilan perang media ini bisa kita lihat dari fakta di lapangan ketika agresi Israel ke Gaza, bagaimana reaksi umat Islam dan dunia internasional saat itu?

Dua Arus Besar Berseteru
Mencermati reaksi umat Islam dan dunia internasional terkait agresi Israel ke Gaza, dapat diklasifikasikan ke dalam dua arus besar. Dua arus inilah yang sebenarnya sedang berseteru dan mewarnai dinamika persengketaan dunia. Dua arus tersebut adalah kubu yang mendukung Perlawanan dan pendukung kubu Menyerah untuk berdamai.
Mereka yang tergabung dalam kubu pertama, pendukung perlawanan, bukan hanya dari kalangan umat Islam. Presiden Venezuela, Hugo Chavez misalnya, dengan keras mengecam Israel dan menyatakan sikap tegas mengusir kedutaan Israel dari negerinya. Ia bukan Muslim dan negara yang dipimpinnya juga bukan negara yang mayoritas Muslim. Meskipun demikian apa yang dilakukan Chaves, tidak bisa dikatakan sebagai orang Islam. Presiden Bolivia juga malakukan hal yang sama. Aksi demonstrasi warga Yahudi di Inggris yang mengecam agresi Israel, memperjelas adanya reaksi luar yang mengecam tindakan Zionis Israel, meskipun mereka tidak terang-terangan mendukung perlawanan.
Di lain kubu, para pendukung kubu Menyerah, memilih jalan berdamai dengan Israel dan menyalahkan gerakan perlawanan. Mengklaim gerakan perlawanan sebagai sumber permasalahan. Pelaku utama dari kubu ini adalah Presiden Palestina yang sudah habis masa tugasnya, Mahmoud Abbas (Abu Mazen). Para pendukung kubu ini dari bangsa Arab diantaranya adalah; Mesir, Arab Saudi, Yordania, dan lain-lain. Para pendukung ini bukan bukan hanya pada tataran para pemimpin negara, tapi beberapa ulama juga angkat bicara mengecam tindakan gerakan perlawanan, terutama Gerakan Perlawanan Islam (Hamas).
Syaikh Hazim Shalah Ismail mengeluarkan fatwa yang mengharam demonstrasi, larangan mendukung Hamas karena perpanjangan tangan dari Iran yang berhaluan Syiah, dan Hamas bukan daulah Islamiyah yang berhak mengobarkan jihad. Fenomena ini sama persis dengan perang Tamuz 2006 lalu, antara Hizbullah dengan Israel. Di tengah-tengah perang sengit berlangsung muncul fatwa ulama Arab Saudi yang mengharamkan dukungan kepada Hizbullah, meskipun hanya mendoakan, dengan alasan Hizbullah adalah Syiah yang dinilai oleh ulama tersebut lebih berbahaya daripada Israel.

Hakikat Perlawanan
Ada upaya pengkaburan pemahaman tentang perlawanan. Israel selalu menggembor-gemborkan target agresinya ke Gaza untuk menumpas terorisme. Dan secara terang-terangan menuduh Hamas sebagai terorisme. Nampaknya alibi-alibi yang sering digunakan oleh agresor seperti AS ketika menghantam Afghanistan dan Iraq, begitu juga Israel ketika membumihanguskan Gaza, adalah lagu klasik yang sudah terbongkar kedoknya. Ketika Israel gagal mencapai targetnya dalam memberangus Hamas, Israel mencari alasan lain dengan mengatakan Hamas bersembunyi, tidak berani menghadapi serangan tentara Israel, dan membiarkan rakyat sipil menjadi tumbal. Tuduhan lain yang dilekatkan pada Hamas adalah tidak mau gencatan senjata dan berdamai dengan Israel.
Israel sangat piawai dalam melontarkan tuduhan-tuduhannya. Mengangkat alasan-alasan kemanusiaan untuk menarik simpati dunia internasional, terutama umat Islam. Ketika muncul pemimpin atau ulama yang mengecam sikap Hamas, maka sebenarnya Israel telah mengantongi amunisi gratis. Berhasil menyerang Hamas dari sisi mental dan psikologis.
Pada hakekatnya, perlawanan adalah sekelompok orang yang mempertahankan tanah air mereka dari penjajah. Ketika penjajah sudah masuk ke wilayah negerinya maka panggilan untuk membela adalah kewajiban setiap individu. Untuk itu gerakan perlawanan yang ada di Gaza ketika menghadang agresi Israel, bukan hanya Hamas dengan sayap militernya Brigade Izuddin Al-Qassam, tapi sayap militer kelompok Fatah, Brigade Syuhadaa' Al-Aqshaa pun ikut berjuang mempertahankan tanah air mereka. Selain itu ada Saraayaa Al-Quds yang merupakan sayap militer dari Jihad Islam, Brigade An-Nashir Shalahudin sebagai sayap militer faksi Perlawanan Rakyat, dan faksi-faksi perlawanan lain yang mempunyai tujuan sama, yaitu membebaskan tanah Palestina dari penjajah Zionis Israel.
Mereka (faksi-faksi gerakan perlawanan) sepakat mempertahankan satu komitmen mutlak yang tidak bisa ditawar, yaitu tidak pernah mengakui eksistensi negara Israel di tanah Palestina. Harga mati inilah yang mereka pertahankan sebagai amanat suci dari Khalifah Umar bin Khattab (radhiyallâhu'anhu) dan panglima Shalahuddin Al-Ayyubi (rahimahullâh). Keberadaan Masjid Al-Aqsha di jantung kota Palestina juga menjadi amanat agung dari seluruh umat Islam. Mereka yang memegang teguh komitmen itu, sesuai dengan apa yang pernah disampaikan oleh Rasulullah Saw.. Sebuah hadis shahih yang diriwayatkan Imam Muslim menyatakan, Rasulullah Saw. bersabda: "Akan tetap ada sekelompok orang dari umatku yang secara terang-terangan memegang kebenaran, dan mengalahkan musuh-musuh mereka., tidak gentar meskipun ditinggalkan yang lain, hingga datang kemenangan dari Allah." Adapun dalam riwayat Imam Ahmad, setelah redaksi hadis di atas ada seorang sahabat yang bertanya, "Dimana mereka wahai Rasul?" Rasul Saw. menjawab: "Mereka ada di Baitul Maqdis dan sekitar Baitul Maqdis."

Kesepakatan Damai
Kesepakatan damai yang diajukan Israel tidak pernah tanpa syarat. Salah satu syarat yang menjadi prioritas utama adalah mengakui eksistensi negara Israel di tanah Palestina. Jelas ini bertentangan dengan komitmen harga mati yang tidak bisa ditawar oleh gerakan perlawanan. Sama halnya dengan ketika Rasulullah Saw. diizinkan untuk beribadah kepada Allah, dengan catatan harus menyembah tuhannya orang Kafir Quraisy di lain waktu. Rasulullah Saw. menjawab dengan tegar dan lantang, tidak akan pernah mengakui sesembahan lain kecuali Allah Swt..
Kesepakatan damai mana yang tidak dilanggar Israel? Oslo, Madrid, Kairo, atau Annapolis. Percobaan untuk berunding dan bekerjasama demi menemukan solusi krisis Palestina, tidak pernah berakhir kecuali dengan pelanggaran dan pengkhianatan dari Zionis Israel. Tepat sekali dengan sifat mereka yang diberitakan Allah Swt. dalam Al-Quran: "(yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya)." (QS. Al-Anfal: 56)
Maka sikap sejati yang seharusnya dipertahankan oleh seorang Mukmin dalam berintaraksi dengan Yahudi, tetap berpegang pada Al-Quran dan Sunnah. Selain itu fikih prioritas juga tidak patut ditinggalkan dalam memahami permasalahan Palestina. Pelajaran agung dari surat Al-Mumtahinah ayat 1-9, membimbing bagaimana etika bekerjasama dengan Yahudi, sekaligus menjelaskan batasan diperbolehkannya memerangi mereka. Masih layakkah bahasa diplomasi dalam berinteraksi dengan Zionis Israel? Masih pantaskah mengulang kegagalan berulang kali berdialog dengan Israel? Manakah yang berhak didukung, perlawanan atau menyerah dan mengakui eksistensi negara Israel di atas tanah jajahan? Wallâhu A'lam bish-Shawâb.
Ahmad Musyafa

sumber:www.warnaislam.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar