02 Februari 2009

Gaza Pasca Kekalahan Israel


Memasuki hari ke-23, agresi Israel ke Jalur Gaza yang dimulai sejak (27/12/2008) tiba-tiba berhenti tanpa kesepakatan dari perlawanan Palestina. Gencatan senjata sepihak Israel oleh Hamas dan berbagai kalangan diyakini merupakan bentuk kekalahan telak Israel. Kali kedua Israel kalah dalam pertempuran, setelah sebelumnya pasukannya takluk oleh perlawanan Hizbullah pada 2006 silam. Sejauh ini Israel tak kuasa membendung perlawanan, karenanya bangsa Zionis ini memilih langkah progresif meminta Amerika Serikat (AS) dan sekutunya turut ambil bagian guna menekan Hamas.
Perayaan kemenangan bergaung di seantero Gaza, ribuan warga bergabung dengan Hamas dan perlawanan larut dalam kegembiraan sambil sejenak melupakan puing-puing hancurnya rumah dan infrastuktur. Penduduk Gaza semakin terpesona dengan kedigdayaan Hamas.

In memorian Abbas
Terhitung sejak (9/1/2009), secara resmi Presiden Palestina Mahmod Abbas berakhir masa jabatannya. Secara konstitusi Abbas tak lagi menjabat sebagai presiden. Apalagi peran Abbas sangat terlihat dalam usahanya mendukung agresi Israel, termasuk memberikan informasi intelijen keberadaan tokoh Hamas.

Abbas pulalah yang mendesak Sekjen Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Ban Ki Moon menempatkan pasukan internasional di Jalur Gaza. Pada saat yang sama, Abbas melakukan penangkapan besar-besaran para kader, pendukung, dan simpatisan Hamas di Tepi Barat, bahkan tak segan-segan melakukan aksi represif para demonstran di Hebron yang menentang agresi Israel ke Gaza serta menangkap paksa mereka.

Rekonstruksi Gaza
Agresi Israel selama 23 hari menyebabkan kerugian fasilitas sipil dan Pemerintahan Palestina di jalur Gaza tak kurang dari 2,2 milyar USD (Rp.22,6 triliun). Kerusakan hebat meliputi rumah sebanyak 4.100 unit, 1.500 pabrik, 20 mesjid, 31 kamp keamanan, dan 10 saluran air. Perdana Menteri Palestina Ismail Haniya, dari Hamas, segera melakukan pembenahan secara signifikan dengan mengaktifkan kembali roda pemerintahan, instansi, sekolah, rumah sakit, melakukan kajian mendalam, dan memberi santunan kepada warga yang keluarganya meninggal dunia, luka-luka dan rumahnya rusak.

Sementara negara-negara Arab masih disibukkan urusan klasik, siapakah pihak yang berwenang memimpin rekonstruksi dan mengemban amanah pendanaan. Mesir dan Arab Saudi meragukan kredibilitas Hamas dan lebih condong ke Abbas, selaku Presiden Palestina demisioner. Sedangkan Kuwait, Iran, Qatar, dan Suriah, lebih percaya pada Hamas yang dianggap lebih kredibel di mata rakyat Palestina.

Kabar baik, untuk pertama kalinya Hamas diikutsertakan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Liga Arab. KTT Darurat dengan agenda membahas penyelesaian serangan Israel ke Jalur Gaza di Doha, Qatar pada hari Jum’at (16/1/2009). Meski tak dihadiri Mesir dan Arab Saudi, KTT Darurat ini cukup memberi arti setelah berpuluh tahun entitas Hamas tak diakui pimpinan Arab. Dengan demikian, kini Hamas mempunyai posisi strategis dalam kebijakan politik luar negerinya dan semakin menaikan citra serta nilai tawar negara Palestina.

Menghukum Penjahat Perang Israel
Tak dapat disangkal agresi Israel ke Jalur Gaza merupakan tragedi kemanusiaan serius yang mengharuskan pelaku utamanya diseret ke Mahkamah Internasional, memberikan sanksi tegas yang setimpal dan menentang segala upaya pembelaan maupun perlindungan negara Israel kepada pasukannya yang telah menyerang Gaza.

Tentara Israel telah membunuh ribuan warga sipil, perempuan, anak-anak, wartawan, dokter, dan relawan kemanusiaan. Gedung-gedung milik PBB, UN Relief and Works Agency (UNRWA) pun tak luput dari sasaran penyerangan. Dan yang tak dapat ditolelir adalah penggunaan senjata pemusnah massal yang menggunakan bahan posphore, bom curah dan uranium (nuklir) yang mengakibatkan kerusakan hebat pada bangunan dan tubuh manusia.

Meski demikian, segenap jajaran pimpinan dan media kuasa Israel terus berkelit akan kesalahannya dan tetap menganggap agresi ke Jalur Gaza adalah bentuk pembelaan. Sementara Israel tak pernah sadar, pembantaian, dan beratus kali lipat dari aksi Holocoust sejak tahun 1948 dan blokade ekonomi sejak 18 bulan yang lalu dengan membuat Gaza sebagai penjara terbesar dunia membuat rakyat Palestina berontak.

Membuka blokade
Setelah lama ditunggu aksi diam Obama sejak dirinya dipastikan menjadi presiden AS, akhirnya Obama bersuara seputar kondisi Jalur Gaza. Obama mendesak segera membuka perbatasan dan mempersilahkan bantuan kemanusiaan masuk untuk mendukung rekontruksi Gaza.

Pernyataan Obama sedikit menyimpang dari politik AS, meski masih tetap menganggap Israel sebagai sekutu utamanya dengan menyikapi ribuan roket yang diluncurkan perlawanan yang menghancurkan sejumlah infrastruktur di wilayah Israel.

Penandatanganan kesepakatan AS yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri (Menlu) Condoleeza Rizedan Menlu Israel, Tzivi Livni perihal bantuan AS. AS bersama sekutunya di kawasan dan di NATO akan mengatasi masalah pembekalan senjata dan bahan-bahan peledak serta alat angkut senjata ke Hamas dan organisasi teroris lainnya di Gaza, mencakup laut Mediterania, di teluk Aden, laut Merah, dan di timur Afrika dengan cara memperbaiki persiapan dan teknik sekarang atau dengan cara melakukan inisiatif baru untuk melarang senjata ke Jalur Gaza. Hal ini mengindikasikan campur tangan AS lebih jauh. Namun, usaha ini dipastikan bakal mendapat tantangan keras dari negara-negara Timur Tengah.

Sejak krisis sub-prime yang melanda AS sejak November 2008, memaksa negara ini harus mengurusi persoalan ekonomi dalam negerinya. AS untuk beberapa tahun ke depan masih harus bergulat pada persoalan mendasar untuk menghentikan situasi panik akibat gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) besar-besaran karena bangkrutnya sektor finansial, sektor properti, lokomotif dan perusahaan derivasinya.

Di sisi lain AS dipusingkan dengan keberadaan 130 ribu pasukannya yang harus segera ditarik dari Irak yang terus mendapat rongrongan dan ancaman dari penduduk Irak. Pasukan AS tak lagi menjadi kebanggaan melainkan telah menjadi musuh utama terlebih saat George W. Bush lengser dari jabatan presiden AS.

Sejumlah negara seperti Arab Saudi, bahkan mulai mengkaji ulang keuntungan negaranya berkoalisi dengan AS. Apakah hanya karena kepentingan minyak dan menghindari teror dan ancaman negara luar? Sementara sekian lama bekerjasama dengan AS, cenderung negara-negara Arab tak lagi mandiri.

Kebijakan yang yang dijalankan para pimpinan Arab dan kebijakan negaranya selalu dan cenderung bertentangan dengan warga negaranya. Negeri Arab telah berubah menjadi tempat yang kurang nyaman untuk wisata selain sebagai tujuan ibadah umat Islam di seluruh dunia. Belum lagi secara nyata AS dan Israel berkontribusi besar dalam membunuh satu-persatu rakyat Arab di Palestina.

Saat yang tepat untuk segera mengakhiri hegemoni AS di Timur Tengah di saat negeri ini berada dalam titik kelemahan sepanjang masa.

Eropa tak berguna
Aksi simpati datang dari Eropa yang dimotori Prancis. Meski sejak agresi Israel ke Gaza meletus, sejumlah pimpinan dan negarawan Eropa dan organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) mengambil sikap diam. Mereka sadar, jika melakukan kecaman terhadap Israel lebih dini berefek pada serangan balik dari Israel, karena dalam sejarahnya Eropa telah melakukan Holocoust kepada negeri Yahudi ini.

Prancis sebagai motor penggerak dialog bergabung bersama Mesir memfasilitasi perdamaian Israel dan Hamas. Tapi, kenyataannya tak satupun keinginan Hamas, Perlawanan, penduduk Palestina terpenuhi yakni menghentikan segera agresi Israel, menarik seluruh tentara Israel dari Jalur Gaza, menghancurkan tembok rasial dan membuka perbatasan sehingga Jalur Gaza bisa berhubungan dengan luar negeri.

Mesir dan Prancis lebih mendengar tuntutan Israel agar Hamas dan perlawanan menghentikan peluncuran roket ke wilayah Israel dan mecegah penyelundupan senjata serta menempatkan pasukan internasional ke Jalur Gaza. Diskriminasi nyata, sementara Israel diberi kebebasan penuh merehabilitasi persenjataan dan mendapat pasokan senjata dari sekutunya.

Penduduk Jalur Gaza sudah terbiasa dengan blokade ekonomi, perlakuan represif dari tentara Israel dan mampu hidup mandiri. Karenanya kehadiran para pimpinan, diplomat Eropa apalagi pasukannya sama sekali tidak perlu dan tidak memberi manfaat sama sekali, justru cenderung menambah runyam masalah. Terlebih pernyataan Eropa yang mengejutkan, bahwa korban dan rakyat Palestina bertanggung jawab atas penderitaan yang diakibatkan agresi ke Jalur Gaza. Pernyataan yang sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), konvensi dan perjanjian internasional.

Pengalaman di negara-negara muslim, penempatan pasukan Eropa justru lebih diskriminatif dan cenderung membela kepentingan Israel dan Amerika. Apalagi yang dilakukan Prancis dengan mengirim kapal perangnya untuk menghentikan penyelundupan senjata ke Jalur Gaza, sementara bantuan bahan pangan dan obat-obatan dari lewat laut dihambat kapal perang Israel.

Counter Opinion
Agresi militer Israel ke Gaza yang bertujuan menghancurkan kekuatan militer Hamas dan perlawanan Palestina ternyata gagal total. Terbukti titik kekuatan militer Hamas nyaris tak tersentuh, sampai dengan hari ke-23 agresi Israel ke Gaza roket perlawanan masih terus menjangkau wilayah Israel bahkan jangkauannya semakin jauh dan mendekati Tel Aviv.

Pasukan Israel menderita kekalahan hebat dan tak ada cara lain selain menghentikan agresi untuk menimilasir kerugian. Kekalahan perang bukan berarti pertempuran telah usai, justru konflik semakin pelik. Kini Israel memainkan strategi diplomasinya untuk memberikan pengaruh opini di media, tentang siapa yang paling bertanggung jawab dan menjadi akar masalah.

Pemelintiran informasi semakin kentara, saat pemerintah Hamas membagikan dana santuan kepada korban agresi Israel dianggap sebagai aksi suap agar penduduk Gaza bungkam dan semakin simpati pada Hamas. Sedangkan di Tepi Barat, Abbas dan sejumlah tokoh Fatah terus beropini dan melakukan fitnah pada Hamas. Abbas bersikukuh ingin berperan sebagai pengelola bantuan internasional yang bersumber dari negara-negara Arab dan lainnya.

Abbas juga menuduh Hamas telah merampas bantuan kemanusiaan, apa buktinya? Bukankah selama ini yang dikenal sebagai pihak yang menyeleweng, korup, mengabaikan rakyat, dan mendukung Israel adalah Abbas dan anteknya. Sehingga rakyat Palestina tak lagi percaya pada mereka dan dalam pesta demokrasi yang paling fair yang pernah digelar di Palestina kader Hamas meraih dukungan suara mutlak dari rakyat.

Bangkitnya nasionalisme
Penggalangan donasi Palestina di Indonesia demikian menggembirakan, seperti ungkapan sahabat saya di ujung Sumatera, “setiap tempat yang saya jumpai baik masjid, instansi pemerintah, pasar, swalayan, ruko, hotel, bank, rumah sakit sekalipun bahkan sudut perkumpulan anak jalanan terdapat kotak amal sumbangan untuk Palestina, sungguh luar biasa”.

Bentuk keterikatan hati yang sangat kuat dalam persaudaraan umat manusia khususnya sesama muslim. Penduduk Indonesia punya satu sikap membela saudaranya di Palestina dari penindasan penjajah Israel. Mengingatkan era kebangkitan nasional, saat negeri ini dalam penjajahan Belanda, dunia internasional yang dimotori negara-negara Arab termasuk Palestina dan Mesir berbondong-bondong memberi dukungan perjuangan rakyat Indonesia. (dea)
Sumber:www.warnaislam.com

1 komentar:

  1. saudara izzis sayang di kolomu tdk menyantumkan klip pasukan hammas waktu meng qishas tawanan israel"THE REAL DAJJAL"(RADEN HARYO DAMAR PARANORMAL MEDAN)

    BalasHapus